Waktu makan siang baru saja berlalu. Di pojok kompleks, dekat bak air tempat cucian, masih terlihat piring-piring plastik kotor. Pasien-pasien gangguan mental di Yayasan Galuh ini memilih berteduh di pinggir bangunan. Supaya kepala mereka yang pelontos terhindar dari panas matahari. Pasien sengaja dicukur gundul, supaya tak cepat kotor atau kena sakit kulit karena jarang keramas.
Yayasan Galuh ada di Bekasi, Jawa Barat, mengurus orang-orang dengan gangguan mental. Suhartono terlihat berkeliling memantau bangsal berdinding jeruji besi, tempat berkumpulnya pasien. Ia sudah 15 tahun bekerja di sana. Sudah tak aneh melihat penghuni Yayasan yang telanjang bulat, mencoret kaki dengan spidol, atau duduk sambil bergoyang tanpa henti.
Pasien baru umumnya suka mengamuk, karenanya kaki dan tangan dirantai pada tiang besi.
Yayasan Galuh saat ini menampung hampir 300 pasien gila. Tokoh Betawi setempat, Mbah Gendu Mulatip yang mendirikan tempat ini sejak 1990-an. Ia kini berusia lebih 90 tahun. Suhartono ikut mengasuh sejak yayasan berdiri.
“Dulu, Pak Gendu itu tokoh lingkungan, jaman dulu namanya RK Rukun Kampung. Beliau tokoh RK yang sulit digantikan. Beliau bangun kampung Poncol. Beliau bilang, agar RT dan RK setiap pojok dibangun pos ronda untuk siskamling. Tapi, setelah dua tiga bulan, isinya bukan orang penjaga, tapi orang sakit jiwa. Bapak belum terketuk waktu itu. Pada suatu hari, ada sekelompok anak menggoda orang sakit jiwa. Digangguin ‘orang gila.. orang gila’. Namanya anak-anak. Bapak melihat dari kejauhan. Tiba-tiba ada anak yang nakal. Lempar batu. Orang gila itu tidak membalas. Hanya ambil batu, lempar ke belakang. Ada anak yang bocor. Anak-anak lari, lapor orang tua. Orang tua pada datang, ada yang ambil batu atau kayu untuk mukul. Tiba-tiba ada ada Pak Gendu. Pak Gendu jawara, orang pada takut. ‘Yang salah bukan orang gila, tapi anak lu. Gue yang tahu. Sekarang gua kasih duit, anak itu bawa berobat’. Orang gila itu lalu dibawa ke rumah. Dimandikan, dikasih obat. Akhirnya sembuh,” cerita Suhartono.
Sejak itu Mbah Gendu mulai mengumpulkan orang-orang gila di sekitar rumahnya. Sempat ditegur pejabat setempat karena melakukan aktiitas ini tanpa izin. Karena itu ia mendirikan Yayasan Gendu. Dalam waktu 10 tahun, pasien mencapai ratusan orang. Rumah tak lagi cukup.
Setiap hari Yayasan Galuh membutuhkan 100 kilogram beras, untuk memberi makan ratusan pasiennya. Tapi Mbah Gendu tak mau mengemis bantuan orang lain. Ia menyewakan delman serta menjual kuda peliharaannya untuk membeli beras. Kadang membeli kuda sakit, untuk disembuhkan lalu dijual lagi. Permintaan dana ke pemerintah baru disetujui setelah 10 tahun yayasan berdiri.
Kini bantuan mengalir. Salah satunya dari Frans, sebut saja begitu, yang datang membawa beras.
“Waktu itu saya cari alamat tanah teman saya. Nyasar ke sini. Ada apa di sini? Apa yang bisa kita bantu? Apa aja. Ya syukurlah, sampai sekarang bisa memberikan sedikit beras. Saya rutin memberikan, hampir setiap bulan. Setiap beli beras, beli dua, satu di rumah satu untuk disini. Saya hormat pada Pak Haji, juga staf. Kita beruntung kita punya Pak Haji yang menampung… Kita sebagai warga Bekasi, berusaha apa yang bisa kita lakukan,” kata Frans.
Tengah berbincang, seorang pasien bertubuh kurus mencuri perhatian kami. Suhartono mencurigai pasien itu memakan rokok yang tadi dihisap.
Pasien suka memakan sembarang benda. Dari kulit buah, daun, hingga kotoran manusia. Kebiasaan makan sembarangan itu menunjukkan kadar gangguan mental si pasien. Pengasuh lain, Suharyono, mengatakan, jika sampai makan kotoran, kadar gangguannya sudah sangat parah.
Orang dengan gangguan jiwa umumnya juga mengalami gangguan indera, terutama peraba dan perasa. Tidak bisa membedakan pedas, manis, pahit, atau asam. Luka di tubuh pun kerap tidak dirasakan, sehingga gampang menyakiti diri sendiri. Di sini istilahnya, orang gila kalau sakit perut memegang kepala, kalau sakit kepala memegang perut.
Tiba-tiba seorang pasien mendatangi kami, meminjam mikrofon. Ia bergaya mirip penyiar televisi. Tapi tidak jelas yang dikatakannya.
Pasien itu tak bisa dibujuk untuk menyanyi. Tapi di seberang sana, dekat mushola yayasan, sayup-sayup terdengar seorang pasien bernyanyi.
Sejenak Suharyono memandang musholla itu. Sambil tersenyum ia mengenang cerita-cerita lucu masa lalu. “
Kami kan punya mushola baru. Waktu itu pas bulan Ramadhan. Ada empat pasien.. Pak tarawih dong pak. Kita bikin tarawih. Saya nunggu di pintu. Setelah pasien ambil wudhu, pasien itu azan. Suaranya enak. Hati saya sumringah. Satu orang masuk lagi, azan lagi. Orang ketiga masuk, azan lagi. Kapan sembahyangnya ini?” kata Suharyono sambil tertawa.
Kakaknya, Suhartono, bisa betah berjam-jam menceritakan kisah lucu dari tingkah polah pasien. Ia punya segudang cerita. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa orang gila itu tidak seseram yang dibayangkan orang.
“Saya kadang menangis kalau hari Lebaran. Yang saya tangisi mereka. Belum tentu saya ke rumah tetangga dulu atau orang tua. Saya minta maaf dulu ke mereka. Orang-orang takbir, saya keluarin dia… Ayo takbir. Hari ini bikin bedug, besok rusak. Mukulnya nggak kira-kira. Hari ini beli mik, besok kabelnya kagak ada. Putus. Dikantongin mik sama dia.”
Muka Suharyono merah menahan emosi. Pria berusia 40-an tahun ini membuka banyak kisah pahit, selama menjadi pengasuh di Yayasan Galuh.
“Waktu itu yayasan belum semegah ini. Masih berantakan. Ada pasien namanya Widodo. Itu karakternya unik, lain. Saya sayang sama dia. Tapi dia nggak ada keluarga. Tiba-tiba dia sakit. Dia renta, dia punya aura bagus. ‘Yon, gimana nih? Pak Dodo berak-berak. Gue punya duit 20 rebu.’ Ya udah kita bawa ke rumah sakit. Sampai ke rumah sakit tidak diterima, walau sudah ada surat keterangan yayasan galuh. Nggak diterima juga. Saya gendong. BAB jatuh semua ke badan saya. Saya nangis. Kasihan kan kita nolongin orang. Bukan sodara bukan keluarga. Saya keliling tidak dapat juga. Akhirnya saya dudukin di tukang rokok. Saya capek. Saya pikir dia tiduran. Ternyata meninggal. Saya nggak bisa ngomong apa-apa. Lemes. Tapi dia senyum. Saya gendong mayat itu dari sana ke yayasan. Ditanya sama temen. ‘Woi mana?’ Sodara gue nih tidur. Padahal mayat. Tiba-tiba, setengah lima, awan gelap. Hujan, gleger-gleger. ‘Ton gimana nih? Kain kafan nggak ada’. Udah jam tangan gue aja dijual. Handphone nggak ada, uang nggak ada. Sama kakak saya berdua. Nangis saya. Gali kuburan dalam keadaan banjir. Ya Allah, tolong saya. Sekarang beli kain kafan ke Pasar Baru. Setelah mau dikubur, ada aja orang nggak terima. ‘Ei pak, jangan dekat kuburan sodara saya atau bapak saya. Nanti ketularan gila’. Orang udah meninggal, tidak ada urusan dengan dunia, kenapa dipertanyakan? Walaupun punya predikat sakit jiwa, ternyata di kuburan, tetap predikat kuburan orang gila. Coba sampai mana?”
Siapa yang salah jika orang terganggu jiwanya? Siapa yang salah jika orang gila disingkirkan, diabaikan, atau dilecehkan?
Suharyono kerap memburu orang gila dari jalanan, lantas dibawa ke Yayasan Galuh. Ia khawatir mereka melukai diri sendiri, orang lain, atau mengalami kecelakaan di jalan raya. Meski dengan resiko menjadi sasaran kekerasan orang gila.
Pengasuh Yayasan Galuh jadi keluarga baru bagi orang-orang gila itu.
Kepuasan mereka adalah ketika pasien sembuh dan pulang ke rumah masing-masing. Istri Mbah Gendu Mulatip, pendiri yayasan, Yumenah berlinang air matanya bila ingat beberapa kali menggelar pesta perkawinan bekas pasien mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar